Beberapa tahun lalu, menerjemahkan dokumen dari satu bahasa ke bahasa lain sering terasa seperti “pekerjaan lembur”—lama, mahal, dan rawan miskomunikasi. Sekarang, AI membuat penerjemahan jadi jauh lebih cepat, lebih mudah diakses, dan (untuk banyak kasus) cukup akurat untuk dipakai sehari-hari. Dari sekadar menerjemahkan chat singkat, sampai membantu tim global merilis produk ke banyak negara, teknologi terjemahan berbasis AI mengubah cara orang bekerja.
Tapi ada catatan penting: cepat bukan berarti selalu tepat. AI masih sering kesandung saat berhadapan dengan konteks budaya, nuansa emosi, permainan kata, hingga terminologi hukum/medis yang “salah sedikit fatal”. Itulah kenapa masa depan penerjemahan bukan sekadar “AI vs manusia”, melainkan “AI + manusia”—kolaborasi yang saling melengkapi.
Apakah AI akan menggantikan penerjemah manusia?
Jawaban realistisnya: tidak sepenuhnya. AI memang makin kuat, terutama untuk kebutuhan terjemahan umum (informasi, email, ringkasan, percakapan). Namun, untuk pekerjaan yang menuntut interpretasi, rasa bahasa, dan akurasi tingkat tinggi—penerjemah manusia masih sulit digantikan.
Bahkan organisasi profesi seperti IAPTI pernah mengkritik janji “terjemahan mesin 100% andal” yang sudah digaungkan sejak lama namun belum benar-benar tercapai di praktik nyata. Tencent Cloud
Di lapangan, yang justru banyak terjadi adalah pergeseran peran:
- Penerjemah makin sering menjadi post-editor (mengoreksi hasil AI).
- Muncul role baru: spesialis lokalisasi, language quality manager, hingga konsultan linguistik untuk sistem AI.
Jadi, AI bukan menghapus profesi—tapi mengubah cara kerja industri.
Teknologi AI utama yang “mengubah permainan”
1) Neural Machine Translation (NMT)
NMT adalah tulang punggung terjemahan modern. Berbeda dari pendekatan lama (rule-based) yang kaku, NMT belajar dari data terjemahan dalam jumlah besar. Hasilnya lebih natural, lebih “berasa manusia”, dan lebih peka terhadap konteks kalimat.
Walau begitu, contoh idiom klasik seperti “raining cats and dogs” memang sering dipakai untuk menjelaskan bahwa sistem modern seharusnya tidak menerjemahkan harfiah, tapi menangkap makna idiomatiknya. Linguise
2) Terjemahan suara (speech-to-speech / speech-to-text translation)
Teknologi ini menggabungkan pengenalan suara + NMT untuk menerjemahkan percakapan secara nyaris real-time. Cocok untuk travel, meeting lintas negara, customer service multilingual, sampai interview.
3) Otomatisasi subtitle & lokalisasi video
Konten video makin mendominasi. AI membantu membuat subtitle otomatis, lalu menerjemahkannya ke berbagai bahasa. Ini memangkas waktu lokalisasi dari hitungan hari jadi jam, tapi tetap perlu proofreading manusia agar tidak ada salah konteks, salah istilah, atau salah timing. Linguise
Manfaat AI dalam penerjemahan (yang paling terasa)
1) Kecepatan
Untuk dokumen teknis atau internal yang sifatnya informatif, AI bisa memangkas proses dari “berhari-hari” menjadi “hitungan menit/jam”, lalu manusia tinggal merapikan bagian krusial.
2) Biaya lebih efisien untuk kebutuhan tertentu
Biaya jasa penerjemahan manusia bervariasi tergantung bidang dan bahasa, dan contoh pengadaan layanan terjemahan institusi bisa berada di kisaran per-kata tertentu. City Innovation Hub
Di sisi lain, opsi berbasis MT + post-editing sering dipasarkan lebih murah daripada full human translation (walau angka pastinya sangat tergantung vendor & kompleksitas). gts-translation.com
Intinya: AI membuat banyak pekerjaan terjemahan “level informasi” jadi jauh lebih terjangkau.
3) Konsistensi istilah
AI (terutama jika digabung glossary/translation memory) bisa menjaga konsistensi istilah merek, istilah produk, atau terminologi teknis—sesuatu yang sering jadi PR ketika dikerjakan oleh banyak penerjemah manusia tanpa pedoman yang rapi.
Tantangan besar: kenapa hasil AI kadang “terlihat benar” tapi sebenarnya salah
1) Konteks budaya & nuansa bahasa
AI bisa menerjemahkan kata, tapi sering gagal menangkap:
- sindiran halus,
- humor lokal,
- gaya bahasa brand,
- konteks budaya (misalnya sapaan hormat, tingkat formalitas).
Di konten marketing, satu kata yang “kurang rasa” bisa mengubah citra merek.
2) Bias & isu etika
Model belajar dari data. Kalau datanya bias, hasilnya bisa bias juga—terutama pada teks sensitif: politik, isu sosial, gender, atau konflik. Ini bukan sekadar soal “tidak enak dibaca”, tapi bisa jadi masalah reputasi.
3) “Kualitas vs biaya” pada dokumen high-stakes
Untuk dokumen hukum, medis, keselamatan, atau keuangan: salah satu istilah saja bisa berakibat serius. Di kasus seperti ini, AI sebaiknya diposisikan sebagai asisten percepatan, bukan penentu akhir.
Model terbaik saat ini: AI + manusia (workflow yang paling masuk akal)
Kalau kamu mau hasil cepat tapi tetap aman kualitasnya, workflow yang sering dipakai tim profesional biasanya seperti ini:
- Pre-brief
Tentukan tujuan, audiens, tone, dan glossary istilah penting (brand terms, istilah teknis). - AI draft
AI mengerjakan terjemahan pertama untuk mempercepat. - Post-editing manusia
Penerjemah/editor memastikan:- konteks tepat,
- istilah konsisten,
- gaya bahasa sesuai audiens,
- tidak ada salah fatal.
- QA & review final
Cek angka, nama, satuan, referensi hukum, dan format.
Pendekatan ini juga yang sering disorot oleh platform yang menawarkan terjemahan otomatis + editor untuk penyempurnaan, termasuk fitur pengeditan hasil terjemahan agar lebih konsisten dan terlokalisasi. Linguise

Kesimpulan
AI jelas “mengubah permainan” penerjemahan: lebih cepat, lebih mudah, dan makin terjangkau untuk banyak kebutuhan. Namun, untuk kualitas rasa bahasa, konteks budaya, serta dokumen berisiko tinggi—manusia masih jadi penentu utama.
Masa depan penerjemahan bukan pertarungan. Yang paling menang adalah tim yang paham kapan memakai AI, kapan wajib memakai manusia, dan kapan harus
